Tanggal 19 November 2025 menandai tonggak bersejarah bagi Marga Patai dan Marga Rematobi di Kepulauan Yapen karena mereka menerima salinan Daftar Tanah Ulayat (DTU) dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional saat berlangsungnya acara sosialisasi pengadministrasian dan pendaftaran tanah ulayat di Provinsi Papua serta pencanangan pemetaan wilayah adat. Acara ini dihadiri oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional, Nusron Wahid, beserta pejabat pemerintah Provinsi Papua, dan Kabupaten Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan, serta Majelis Rakyat Papua. Kegiatan ini merupakan bentuk komitmen berkelanjutan pemerintah untuk memberikan pengakuan dan perlindungan tanah ulayat/tanah adat masyarakat hukum adat. Capaian penting ini terwujud melalui pelaksanaan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (Permen ATR/Ka BPN No. 14/2024).
Permen ATR/Ka BPN No. 14/2024 mengatur pengadministrasian dan pendaftaran tanah ulayat (PPTU) yang memungkinkan tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat (MHA) secara turun temurun sejak ratusan tahun lalu tercatat di dalam basis data pertanahan nasional. Selain itu, Permen ini dapat memperkuat dan melindungi hak ulayat dari MHA, sehingga tidak lagi dianggap tanah kosong (tanpa pemilikan atau penguasaan).

Secara umum terdapat dua opsi pengakuan dan perlindungan hak ulayat melalui Permen ATR/Ka BPN No. 14/2024. Pertama, melalui pengadministrasian tanah ulayat dalam Daftar Tanah Ulayat (DTU). Kedua, jika dikehendaki oleh MHA, proses dapat dilanjutkan ke pendaftaran tanah dalam bentuk sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) untuk tanah ulayat, dan Hak Milik bersama (HM bersama) untuk tanah milik bersama bagi tanah yang sudah dibagikan ke unit-unit di dalam persekutuan MHA. Dalam konteks DTU, Permen ATR/Ka BPN No. 14/2024 menegaskan kewajiban pemerintah untuk mengadministrasikan tanah-tanah yang memiliki karakteristik tanah ulayat MHA. Sementara, proses lanjutan pendaftaran tanah untuk HPL menjadi opsi yang dapat ditempuh oleh MHA jika dibutuhkan dengan syarat sudah ada pengakuan subyek MHA di tingkat daerah. Dengan demikian, kedua mekanisme tersebut bertujuan menguatkan hak-hak kolektif MHA, terutama atas tanah ulayatnya, yang mengakomodasi keragaman tenurial dan kondisi sosial dari berbagai komunitas.
Meski terdapat peluang penguatan dan perlindungan terhadap hak ulayat, pelaksanaan Permen ATR/Ka BPN No. 14/2024 di lapangan membutuhkan penguatan. Dalam temuan asesmen Landesa Indonesia di beberapa daerah seperti Papua dan NTT, tantangan utama yang dijumpai dalam proses pengadministrasian tanah ulayat ialah dibutuhkannya proses sosialisasi yang lebih panjang dan menyeluruh, atau partisipatif dan inklusif pada MHA. Prinsip-prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA/FPIC) perlu menjadi landasan dalam proses pengadministrasian tanah ulayat di beberapa daerah sehingga keputusan yang dibuat dalam mengadministrasikan dan/atau mendaftarkan tanah ulayat mereka menjadi keputusan bersama yang tidak menimbulkan masalah di kemudian hari karena kesepakatan dibuat dalam waktu yang cukup dan melibatkan sebanyak-banyaknya elemen di masyarakat.
Dalam rangka menjawab tantangan tersebut, Landesa Indonesia telah memfasilitasi beberapa proses PPTU secara bottom-up bersama dengan kantor pertanahan setempat, salah satunya di Kabupaten Yapen, Provinsi Papua. Berdasar peta bidang tanah yang diadministrasikan per tanggal 22 September 2025, Kantor Pertanahan Yapen telah mencatatkan tanah ulayat Marga Patai dan Marga Rematobi masing-masing dengan luas 4,6 hektar dan 3,3 hektar dalam bentuk DTU. Keduanya difasilitasi oleh Kantor Pertanahan Yapen hingga DTU sesuai keputusan dari MHA yaitu Marga Rematobi dan Patai di Kabupaten Yapen. Selain itu, Landesa Indonesia mendukung upaya Kementerian ATR/BPN untuk terus mengawasi dan mengevaluasi proses PPTU agar mencapai target dengan kualitas yang memenuhi hak-hak MHA.
![]()
Sebagai organisasi masyarakat sipil yang mendukung upaya pemerintah melindungi tanah ulayat MHA, Landesa Indonesia mendokumentasikan proses PPTU yang telah dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN sebelum disahkannya Permen ATR/Ka BPN no. 14/2024. Bersama National Geographic Indonesia dan World Resources Institute (WRI) Indonesia, kami merekam sekelumit proses dan perkembangan PPTU hingga hari ini di dua komunitas MHA di Provinsi Papua, yakni MHA Sawoi Hnya, dan di Provinsi Sumatera Barat, yakni MHA Nagari Sikabu-kabu, Nagari Kamuyang. Video dokumenter ini menggambarkan rangkaian proses PPTU serta perbedaan dari pengadministrasian DTU dan pendaftaran tanah melalui HPL.
Bertepatan dengan kegiatan hari ini, video dokumenter tersebut secara resmi dirilis di hadapan Menteri ATR/Kepala BPN dan seluruh peserta yang hadir. Diharapkan dengan adanya video dokumenter tersebut publik mendapatkan informasi yang cukup dan utuh terkait dengan proses PPTU maupun tanah ulayat MHA.
Dengan demikian, Landesa Indonesia melihat program PPTU ini sebagai upaya penting yang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN dan perlu dilakukan secara kolaboratif dengan organisasi non-pemerintah agar memberikan dampak yang maksimal untuk perlindungan tanah ulayat masyarakat hukum adat.
Narahubung:
Landesa Indonesia
- Yulia Langowuyo (081237343580)
- Yahya Zakaria (085726186561)
